Jumat, 16 Maret 2012

PENYEMBUHAN LUKA DAN REGENERASI MANTEL PADA ATRINA VEXILLUM (Contoh Proposal)

1.      PENDAHULUAN

1.1.      Latar Belakang
            Luka pada moluska sering disebabkan oleh predasi ataupun juga kegiatan benturan fisik baik itu secara sengaja ataupun tidak sengaja. Namun kemampuan menyembuhkan luka adalah sifat alamiah dari setiap makhluk hidup. Dalam berbagai penelitian yang dilakukan untuk melihat penyembuhan luka pada moluska menunjukkan bahwa tiap individu mampu menyembuhkan luka mereka dalam waktu yang berbeda.Misalnya penyembuhan luka dibagian mantel padaPinctada fucata(Akoya pearl oyster), dimana kerang ini dapat menyembuhkan luka bahkan mantelnya beregenerasi membentuk wujud yang serupa seperti sebelum terluka (Salmon & Southgate, 2005a). Penelitian penyembuhan luka pada siphon Scrobicularia plana juga menunjukan bahwa moluska ini mampu menyembuhkan luka pada siphonnya yang terputus (Hodgson, 1982).
            Setiap proses penyembuhan luka, selalu diikuti proses regenerasi, tergantung besar kecilnya luka. Avertebrata laut pada umumnya memiliki kemampuan regenerasi organ baru setelah putus atau hilang.Pada penelitian regenerasi jaringan mantel pada Pinctada maxima (Silver-lip pearl oyster)menunjukkan bahwa setelah beberapa bulan, bagian mantel yang dipotong beregenerasi dan menunjukkan kemiripan dengan bagian mantel yang tidak dipotong (Mamangkey & Southgate, 2009). Pada Haliotis tuberculata, penelitian dilakukan untuk melihat perbaikan pada cangkang dengan prosespengapuran kembali pada cangkang yang luka (Fleury dkk, 2007). Sedangkan pada Gastropoda family Muricidae, organ pengebornya bertumbuh dan beregenerasi setelah melewati proses pemotongan organ (Carriker& Van Zandt, 1972).Akan tetapi, kecepatan penyembuhan luka dan regenerasi berbeda pada setiap spesies. Hal itu juga tergantung dari besarnya wilayah yang terkena luka dan organ yang terpotong. Dengan demikian dipandang perlu untuk meneliti penyembuhan luka dan regenerasi mantel pada Atrina vexillum untuk memberikan tambahan informasi yang efektif dalam membandingkan penyembuahan luka dan regenerasi dari beberapa spesies moluska.

1.2.      Perumusan Masalah
            Penelitian tentang penyembuhan luka dan regenerasi mantel pada kerang mutiara, sejauh yang diketahui baru pada jenis-jenis kerang mutiara yang umum ditemui seperti Pinctada maxima(Mamangkey & Southgate, 2009), Pinctada margaritifera dan Pinctada fucata (Salmon & Southgate, 2005b). Namunbelum ada studi ilmiah ataupun penelitian yang mengkaji tentang penyembuhan luka dan regenarasi mantel pada Atrina vexillum. Padahal bivalvia ini juga berpotensi menghasilkan mutiara seperti golongan Pinctada spp.



2.      TINJAUAN PUSTAKA

2.1.      Klasifikasi, Morfologi dan DistribusiAtrina vexillum
Menurut WoRMS (World Register of Marine Species, 2012)Atrina vexillum(Born, 1778) diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom :      Animalia
            Phylum :        Mollusca
                        Class :            Bivalvia
                                    Ordo :             Pterioida
                                                Family :          Pinnidae
Genus :          Atrina
                                                                        Species :        Atrina vexillum

Atrina vexillum memiliki cangkang dengan ukuran yang besar, tebal, serta padat. Warna luarnya cokelat kemerahan sampai hitam, tapi jika terkena cahaya akan terlihat berkas-berkas warna ungu kemerahan. Cangkangnya berbentuk seperti kapak. Marjin pada bagian dorsal cangkang umumnya hampir lurus, sementara pada bagian posteriornya cenderung oval (Carpenter & Niem, 1998). Bagian ventral agak cembung dan bagian posterior dekat umbo lebih cenderung cekung. Tampilan luar cangkang terlihat memiliki 10 – 17 rusuk radial utama, ada tonjolan-tonjolan seperti duri yang melekat (Carpenter & Niem, 1998). Byssus yang dimiliki Atrina vexillum sangat panjang bahkan dapat mencapai panjang cangkangnya. Lubang byssus terletak di bagian dorsal cangkang atau di daerah margin proksimal yang cenderung oval.

Lapisan nacre internalnya cukup kuat dan utuh, serta menempati setengah bagian anterior atau 2/3 bagian cangkang . Hewan ini biasanya hidup di daerah lamun, dengan menancapkan byssusnya pada substrat lumpur, pasir, maupun lumpur berpasir (Gambar 2).

Atrina vexillum terdistribusi luas di daerah Indo-Pasifik: mulai dari bagian Timur Afrika, termasuk di dalamnya Madagaskar, laut Merah, dan Teluk Persia; Indonesia, Sri Lanka, Malaysia, Myanmar. Meluas ke arah Timur Polynesia: sebelah utara ke arah Jepang dan Hawaii, dan sebelah selatan ke arah Queensland dan Caledonia Baru (Dance, 1992).


2.2.      Penyembuhan Luka dan Regenerasinya pada Moluska
            Proses penyembuhan luka dan regenerasinya pada setiap spesies moluska berbeda-beda secara alamiah. Pada Donax vittatusmisalnya, hancurnya siphon dikarenakan adanya predasi yang tidak mematikan dari juvenil ikan pipih. Penelitian pada Donax vittatusmenunjukkan bahwa bivalvia ini mampu menyembuhkan lukanya dan meregenerasi siphonnya dalam waktu 10 hari (Ansel dkk, 1998). Penelitian pada mantel dan kaki dari Haliotis cracherodii yang diberi luka sayatan menunjukkansejumlah perbedaan dalam penyembuhan luka dari kedua jaringan tersebut. Gastropoda ini mulai menyembuhkan lukanya setelah diberi luka sayatan sampai pada 8 jam setelah diberi luka sayatandan meregenerasi organ tubuhnya serta sembuh sepenuhnya pada hari ke-75 (Armstrong dkk, 1970). Penyembuhan luka dan regenerasi mantel secara alamiah juga ditunjukkan oleh Crassostrea gigas.Penyembuhan lukanya dimulai setelah luka sayatan diberi dan meregenerasi bagian mantelnya selama 20 hari (DesVoigne & Sparks, 1968). Studilain juga dilakukan untuk melihat regenerasi jaringan mantel pada Pinctada maxima (silver-lip pearl oyster) dimana regenerasi lengkap bivalvia ini terjadi dalam 3 bulan (Mamangkey & Southgate, 2009).

Kamis, 15 Maret 2012

SIPUT GASTROPODA YANG MENEMPEL PADA ALGA MAKRO ( Contoh Proposal)

1.     PENDAHULUAN 
1.1.            Latar Belakang
Indonesia merupakan daerah tropis yang terletak di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Letak geografis ini mempengaruhi keanekaragaman hayati laut Indonesia. Oleh karenanya hidup dan berkembang berbagai jenis organisme seperti  ikan, karang, lamun, alga serta biota laut lainnya. Di antara berbagai jenis organisme tersebut, mereka hidup saling berinteraksi dan berasosiasi dalam suatu habitat.
Moluska adalah salah satu komponen dalam ekosistem laut dengan keanekaragaman spesies yang tinggi dan menyebar luas di berbagai habitat laut. Kelompok hewan bertubuh lunak ini dapat dijumpai mulai dari daerah pinggiran pantai hingga laut dalam. Moluska banyak menempati daerah terumbu karang, sebagian membenamkan diri dalam sedimen, beberapa dapat dijumpai menempel pada tumbuhan laut seperti mangrove, lamun dan alga.
Sebagaimana halnya moluska, makro alga juga merupakan salah satu komponen dalam ekosistem laut. Makro alga merupakan tumbuhan laut yang struktur tubuhnya tak sempurna dan banyak ditemukan di daerah pantai. Makro alga atau seaweed dibedakan dengan mikro alga. Makro alga ukurannya lebih besar, dapat dilihat langsung dengan mata tanpa alat bantu dan  menancap atau melekat pada substrat. 
Pentingnya peran makro alga sebagai sumber makanan bagi hewan herbivor termasuk moluska. Dijelaskan juga bahwa wilayah yang ditumbuhi banyak alga berperan sebagai tempat berlindung invertebrata muda. Ketersediaan makanan dan ruang dapat menjadi penyebab utama terdistribusinya moluska pada makro alga. Sebagaimana yang diungkapkan bahwa suatu organisme memilih dan menempati suatu habitat yang aman dari pemangsa dan tersedia makanan yang cukup untuk keberlangsungan hidupnya
Pantai Pulau Nain dan Arakan didominasi oleh hamparan padang lamun sehingga banyak biota berasosiasi dengannya termasuk makro alga  dan moluska.
Sejauh ini studi tentang interaksi maupun keberadaan moluska di mangrove, terumbu karang maupun lamun sebagai tiga ekosistem utama di lingkungan laut telah banyak dilakukan. Studi keberadaan makro alga pada daerah hutan mangrove pernah dilakukan oleh Posundu (2007). Kemudian di daerah rumput laut (lamun) untuk menelaah komunitas prosobranchia pernah dilakukan Parinsi (1997) dan distribusi makrofauna bentik pada daerah lamun oleh Kolanus (1992). Studi tentang moluska pada terumbu karang diantaranya dilakukan oleh Boneka (1995), Dako (1996) dan yang terbaru oleh Bonde (2008) dan Umboh (2010). Sementara studi yang menyangkut moluska pada makro alga masih kurang. Oleh karenanya, penelitian ini dipandang penting untuk dilakukan guna menghasilkan sekaligus menambah informasi ilmiah tentang aspek ekologi moluska khususnya pada makro alga.
1.2.      Perumusan Masalah
Makro alga penting bagi moluska dimana secara ekologis berperan dalam menyediakan tempat untuk berlindung dan makanan. Namun masih kurang studi yang mengkaji keterkaitan di antara kedua komponen ekosistem laut tersebut. Pertanyaan yang akan dijawab melalui penelitian ini antara lain: (1) jenis moluska apa yang berasosiasi dengan makro alga. (2) apakah jenis moluska tertentu cenderung memilih alga tertentu sebagai habitatnya.
2.     TINJAUAN PUSTAKA
2.1       Makro Alga
Alga adalah tumbuhan yang tergolong primitif atau tumbuhan tingkat rendah karena  tidak mempunyai perbedaan susunan kerangka seperti akar, batang dan daun; meskipun  wujudnya tampak seperti ada perbedaan pada susunan kerangka tetapi secara keseluruhan tumbuhan ini merupakan suatu bentuk talus . Bentuk talus ada bermacam-macam seperti berbentuk tabung, gepeng, bulat, pipi, lembaran, batangan dan berbagai macam. Beberapa jenis alga dapat dibedakan antara bagian yang menyerupai helaian yang disebut lamina, menyerupai tangkai yang disebut stipe dan pangkal yang menyerupai akar yang disebut holdfast.
Berdasarkan kandungan pigmen warna, alga makro terdiri atas tiga divisi yaitu alga hijau (Chlorophyta), alga merah (Rhodophyta) dan alga coklat (Phaeophyta). Masing-masing kelompok memiliki pigmen klorofil-a yang berperan dalam fotosintesis. Yang membedakan adalah kandungan pigmen dominan yang menghasilkan pola warna tertentu bagi masing-masing kelompok alga tersebut. Disamping klorofil a, alga merah juga memiliki klorofil d, alga hijau memiliki klorofil c dan alga coklat memiliki klorofil b..
Keberadaan alga sangat ditentukan oleh ketersediaan cahaya matahari dimana umumnya alga terdapat pada daerah intertidal atau subtidal sampai batas kedalaman 200 m di mana cahaya matahari masih dapat tembus . Odum (1996) menjelaskan perairan intertidal hingga subtidal umumnya didominasi oleh alga hijau, selanjutnya diikuti oleh alga coklat. Alga merah sering dijumpai pada kedalaman maksimum atau sepanjang batas bawah  zona fotik.
Dalam kajian ekologi, alga memiliki peran yang sangat penting. Dawes (1981) menjelaskan makro alga adalah sumber makanan dalam rantai makanan komunitas bentik yang  dimanfaatkan terlebih dulu oleh hewan-hewan herbivora. Selain itu,makro alga berfungsi juga sebagai tempat pembesaran dan pemijahan sejumlah biota-biota laut. Alga juga dapat berfungsi sebagai tempat hidup dan berlindung bagi sebagian biota laut.
            2.2       Moluska
Moluska adalah hewan bertubuh lunak yang tak bertulang belakang, ada yang bercangkang dan ada pula yang tidak. Filum moluska adalah yang kedua terbesar dalam hal jumlah spesies sesudah Arthropoda, terdiri atas 7 kelas yakni Polyplacophora (chiton), Gastropoda (keong), Pelecypoda (kerang), Cephalopoda (cumi-cumi atau gurita), Scaphopoda (cangkang tanduk), Aplacophora dan Monoplacophora. Aplacophora adalah hewan kecil seperti cacing. Monoplachopora adalah hewan bercangkang yang terkecil. Semua moluska terkecuali Bivalvia dilengkapi dengan radula dalam mulutnya yang terdiri atas deretan gigi-gigi kitin kecil melintang untuk menggerus makanannya.
Lali dan Parsons (1993) dan Greenway (1995) menyatakan bahwa moluska mempunyai berbagai tipe memakan yang memungkinkannya ada di semua tingkatan trofik di berbagai habitat. Tipe memakan moluska antara lain herbivora, karnivora, pemakan bangkai (scavenger), pemakan deposit, pemakan tersuspensi dan parasit.
            2.3       Interaksi Moluska dengan Makro Alga
Dalam kaitannya dengan manfaat ekologi alga,  moluska adalah salah satu fauna bentik yang memanfaatkan keberadaan makro alga di sekitarnya. Kepentingan organisme ini terdistribusi pada makro alga utamanya disebabkan oleh ketersediaan makanan dan tempat untuk berlindung. Carpenter dan Niem (1998) menyebutkan jenis-jenis moluska yang memanfaatkan alga sebagai makanan berasal dari kelas Gastropoda antara lain Haliotidae, Trochidae, Neritidae, Littorinidae, Cerithidae, Potamididae, Strombidae dan Cypraeidae. Selanjutnya dijelaskan contoh spesies diantaranya Trochus niloticus yang memakan alga filamen dan Lambis-lambis yang memakan alga merah yang halus. Disebutkan pula beberapa spesies Strombidae dan Cypraeidae yang menjadikan kumpulan alga sebagai habitat antara lain Strombus labiatus, Strombus cannarium, Lambis truncate, Cypraea arabica, Cypraea moneta, Cypraea ventriculus. Owen (1996) mengungkapkan jenis moluska yang memanfaatkan makro alga yakni anggota Strombidae yang memakan lapisan tipis alga filamen yang mengandung material organik dan kebanyakan Archaeogastropoda yang menggerus permukaan alga makro. Dalam Dawes (1981) menyebutkan abalon (Haliotis sp) di pantai selatan Kalifornia memanfaatkan kebun kelp (Phaeophyta) untuk makan dan berlindung.   
Berbagai limpet, bulu babi dan siput litorina adalah kelompok grazer intertidal utama yang memiliki peran dalam mengatur batas distribusi spesies alga (Nybakken, 1992). Lubchenko dalam Nybakken (1992) lewat penelitiannya di genangan pasang dan pantai New England pada tahun 1978 menemukan alga dominan adalah Chondrus crispus. Di sekitarnya alga ini disaingi oleh alga hijau Enteromorpha intestinalis tetapi ternyata Chondrus crispus mampu bertahan hidup di genangan pasang karena terdapat populasi grazer Littorina littorea yang besar dan senang memakan Enteromorpha intestinalis.
Penelitian yang mengungkapkan hubungan antara makro alga dengan jenis moluska juga pernah dilakukan oleh Steneck pada tahun 1982 yaitu hubungan antara limpet (Acmaea sp) dengan alga koralin Clathromorphum sp di New England. Acmaea sering berasosiasi dengan Clathromorphum dimana Acmaea memakan (grazing) lapisan luar Clathromorphum. Alga tersebut mendapatkan keuntungan yakni permukannya bersih dari organisme epifit dan mampu membentuk sel-sel baru dengan cukup cepat untuk mengganti yang hilang.

Senin, 12 Maret 2012

CONTOH PROPOSAL LOKASI BERTELUR PENYU


1.                  PENDAHULUAN
Latar belakang
            Penyu termasuk dalam kelompok reptilia purba yang bentuknya hampir tidak mengalami perubahan sejak seratus juta tahun yang lalu ketika munculnya Archelon yang panjangnya mencapai 4 meter. Sekarang penyu terbesar adalah penyu belimbing (Dermochelys coriacea) yang panjangnya bisa mencapai 2 meter dengan berat 500 kg. Penyu adalah fauna melata yang terbiasa hidup semata-mata di laut.
            Perairan Indonesia termasuk kawasan yang penting bagi perkembangbiakan penyu dunia. Sulawesi Utara merupakan salah satu daerah penyebaran penyu di Indonesia. Penyu kerap ditemukan di perairan Sulawesi Utara antara lain di kawasan Taman Nasional Bunaken, Selat Lembeh, perairan Tumpaan, Likupang, Kombi dan beberapa daerah pesisir lain di Minahasa, Bolaang Mongondow serta Kepulauan Sangihe dan Talaud.  Dari tujuh jenis penyu yang masih tersisa hingga kini, ada enam jenis yang ditemukan di Indonesia yaitu penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricate), penyu lekang (Lapidochelys olivacea), penyu pipih (Natator depressus), penyu tempayan (Caretta caretta) dan penyu belimbing (Dermochelys coriacea).
Penyu laut mempunyai kemampuan menyesuaikan diri yang khas untuk hidup di lingkungan laut. Biasanya penyu mendatangi kawasan terumbu karang dan padang lamun. Penyu bernafas dengan paru-paru dan berkembangbiak dengan cara bertelur dan menetaskannya untuk menjadi anak penyu yang dinamakan tukik. Penyu meletakkan telurnya di daerah pantai berpasir dan relatif terlindung. Penyu mempunyai kaki berbentuk sirip yang kuat untuk mengeduk pasir dan untuk berenang cepat dalam rangka menghindari musuh. Hewan ini memiliki kelenjar garam di dekat matanya yang digunakan untuk menormalkan kandungan garam dalam darah jika darahnya terlalu mengandung banyak garam.

 2.                 TINJAUAN PUSTAKA 
             Morfologi dan sistematika
            Penyu laut adalah organisme bertulang belakang yang hidup pada 2 habitat. Secara umum tubuhnya ditutupi oleh sisik, bergerak dengan menggunakan kaki yang berfungsi juga sebagai sirip. Penyu tergolong hewan berdarah dingin (poikiloterm), bernapas dengan paru-paru dan berkembangbiak dengan menetaskan telur.
            Secara morfologis, ciri khas penyu laut adalah bentuk tubuhnya yang terdiri atas tempurung punggung (kerapas) yang keras dan terbuat dari bahan tanduk dan tempurung perut (plastron) yang lebih tipis dan lebih lemah yang terbuat dari bahan yang sama. Jenis sisik yang terdapat pada karapas adalah sisik nuchal, sisik marginal, sisik sisi, dan sisik verbal (Mingkid 1992). Penyu mempunyai keunikan-keunikan tersendiri dibandingkan hewan-hewan lainnya. Tubuh penyu terbungkus oleh tempurung keras yang berbentuk pipih serta dilapisi oleh zat tanduk. Tempurung tersebut mempunyai fungsi yang sebagai pelindung alami dari predator. Sedangkan penutup pada bagian dada dan perut disebut dengan plastron.
            Ciri khas penyu juga terletak pada terdapatnya sisik infra marginal (sisik yang menghubungkan antara karapas, plastron dan alat gerak berupa flipper. Flipper  pada bagian depan berfungsi sebagai alat dayung dan flipper pada bagian belakang befungsi sebagai alat kemudi. Pada penyu-penyu yang ada di Indonesia mempunyai ciri-ciri khusus yang dapat dilihat dari warna tubuh, bentuk karapas, serta jumlah dan posisi sisik pada badan dan  kepala penyu. Penyu mempunyai alat pecernaan luar yang keras, untuk mempermudah menghancurkan, memotong dan mengunyah makanan.
            Penyu laut  adalah reptil yang sangat dikenal oleh masyarakat yang termasuk dalam ordo Testudines. Dari ordo ini ada dua famili yakni Dermochelidae dan Chelonidae.
            Perbedaan mencolok pada tempurung antara suku Dermochelidae dan Cheloniidae adalah pada bentuk tempurung Dermochelidae yang membentuk belimbing; sedangkan Cheloniidae berbentuk seperti pipih-pipih yang tersusun membentuk pola-pola tertentu (Gambar 1).

Gambar 1 : Morfologi penyu laut

            Morfologi jejak lintasan (track) adalah salah satu cara penentu jenis penyu. Identifikasi jenis dengan cara ini membutuhkan pengalaman dan keterampilan yang baik, terutama untuk membedakan track penyu Tempayan, Sisik dan penyu Lekang. Gambaran yang diamati adalah lebar serta simetris atau tidaknya suatu lintasan penyu di pantai peneluran. Lebar track diukur dengan meteran pita. Lebar track penyu Belimbing kurang lebih 150 cm, penyu Hijau kurang lebih 100 cm, penyu Pipih kurang lebih 90 cm, penyu Tempayan > 90 cm, penyu Sisik kurang lebih 75 cm, dan penyu Sisik Semu kurang lebih80 cm. Penyu Belimbing, Hijau, dan penyu Pipih meninggalkan jejak yang simetris, sedangkan penyu Tempayan, Sisik dan Sisik Semu memiliki track yang tidak simetris (anonim 2011)
            Track simetris berdiameter sekitar 100 cm adalah karakteristik yang dimiliki penyu Hijau (kiri). Gambar 2 sebelah kanan menunjukkan track yang berakhir dengan sarang telur penyu. Jejak naik (A), pasir-pasir yang ‘dilempar ke belakang’ ke arah jejak naik (B), lubang tubuh sekunder dan lemparan pasir di sekitarnya (C), dan jejak turun ke laut (D) adalah sangat nyata. Garis pasang tertinggi (E)
                                                    A                                               B
                               A. Morfologi Track Penyu Laut (Jalur Bertelur Penyu)
                               B. Berbentuk U seperti ini adalah ciri memeti (penyu naik, tapi tidak bertelur).
                                                     Gambar 2. Morfologi Track
                  
 
Gambar 3. Jalur Lintasan
            Beberapa jenis jalur lintasan yang tak menghasilkan sarang telur penyu. (A) Penyu bergerak ekstensif tapi tak ada tanda terbentuknya lubang tubuh dan lubang telur; (B) selanjutnya penyu bergerak mengikuti bentuk huruf U ke arah garis pasang tertinggi; (C) Ada proses penggalian lubang tubuh dan lubang telur, namun tidak ada proses penutupan lubang; (D) ada indikasi penggalian lubang tubuh namun tak ada tanda-tanda terjadinya proses penutupan lubang; (E) Jalur lintasan menunjukkan panjang saat naik relatif sama dengan saat turun; (F) Garis pasang tertinggi.
Hirt (1971) menyatakan bahwa secara umum penyu laut dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom         : Animalia
      Phylum      : Chordata
            Class                : Reptilia
                  Ordo                      : Testudinata
                        Famili              : Cheloniidae
                              Genus        : Chelonia
                                    Spesies  : Chelonia mydas
                                                    Eretmochelys imbricate
                                                    Lapidochelys olivacea
                                                    Natator depressus
                                                    Caretta caretta
                                                    Dermochelys coriacea

Habitat dan Penyebaran
            Penyu laut terdapat di banyak perairan di dunia. Fauna ini tersebar di samudra Atlantik dan Pasifik, laut Mediterania, Afrika Selatan, perairan Asia Tenggara, Australia, Jepang, dan beberapa perairan lainnya.
            Anonim (1976) dalam Rumambi ( 1994) menyatakan tempat yang disukai oleh penyu adalah perairan laut yang relativ dangkal, tidak lebih dari 200 meter, dimana banyak ditumbuhi oleh lamun. Sumertha (1979) dalam Rumambi (1994) mengatakan bahwa penyu yang sudah dewasa tingggal di daerah pengambil makanan yang merupakan daerah perairan yang dapat ditembusi oleh sinar matahari dan ditumbuhi oleh tumbuhan laut.
Gambar 3 di bawah ini merupakan contoh penyebaran penyu di Indonesia.

Gambar 4. Penyebaran penyu di Indonesia

Reproduksi
            Penyu jantan memulai migrasi reproduksinya sebelum penyu betina. Mereka berlomba ke daerah perkawinan dan tidak sabar menunggu penyu betina untuk muncul. Dengan tanda dari penyu betina, penyu jantan dengan tiba-tiba berenang mendahului dan dengan segera mencoba merayap atau merangkak karapas penyu betina untuk memulai perkawinan. Dengan menggunakan kuku pada sirip depannya untuk memegang pinggiran karapas penyu betina bagian depan, penyu jantan memutar ekornya di bagian bawah dari penyu betina untuk memasukan sperma ke kloaka penyu betina. Keduanya bisa bertahan dengan pelukan perkawinan dalam waktu berjam-jam di dekat permukaan dan di dasar. Adakalanya mereka ke permukaan untuk bernapas tetapi kemudian langsung turun ke bawah.
            Kebanyakan penyu betina bertelur di pantai di kawasan yang sama di tempat di mana mereka menetas. Musim peneluran berbeda-beda antara tempat yang satu dengan yang lainnya. Jika penyu betina melihat manusia sebelum dia bersarang, dia akan lebih suka berputar kembali ke laut, dan kemudian kembali nanti. Jika pantai sepi dan penyu betina merasa tidak terganggu dia akan merangkak ke pantai untuk beberapa menit. Setelah, melihat sekitarnya dia melanjutkan ke dalam sampai menemukan tempat yang tepat untuk menggali sarangnya.
            Musim bertelur penyu (dalam satu tahun) terjadi pada bulan Januari sampai Mei, kemudian bulan Oktober sampai Desember (Anwari 1986 dalam Rumambi 1994). Musim bertelur penyu antara daerah satu dengan daerah huhi yang lainnya berbeda-beda dan sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan alam setempat; sebagai contoh musim bertelur penyu di daerah Jawa Timur antara bulan Oktober –April, Kalimantan Selatan antara bulan September-April dan Kalimantan Barat antara bulan Januari-Juni untuk setiap tahunnya; namun tidak menutup kemungkinan penyu bertelur di luar musim peneluran.
Tabel 1. Jumlah dan ukuran telur penyu untuk menurut spesies
                                                                                                                        
No
Jenis Penyu
Nama Indonesia
Jumlah (Butir)
Ukuran
(Diameter/mm)
1
Chelonia mydas
Penyu hijau
100 – 140
40 – 46
2
Dermochelys coriacea
Penyu Belimbing
60 – 110
51 – 55
3
Eretmochelys imbricate
Penyu Sisik
70 – 130
32 – 36
4
Natator depressus
Penyu Pipi
50 – 60
50 – 52
5
Caretta caretta
Penyu Tempayan
90 – 130
39 – 43
6
Lapidochelys olivacea
Penyu Lekang
100 – 120
37 – 42